Kereta Cepat

Kereta Cepat

Minggu, 21 Mei 2017

Kereta Cepat




Kereta kecepatan tinggi di Indonesia


Rencana untuk membangun kereta api berkecepatan tinggi di Indonesia telah diumumkan oleh Pemerintah pada bulan Juli 2015.[1] Proyek kereta kecepatan tinggi perdana di Indonesia — dan mungkin juga perdana di Asia Tenggara ini — direncanakan akan menghubungkan ibu kota negara Jakarta dengan kota Bandung di provinsi Jawa Barat, dengan jarak membentang sejauh 150 kilometer. Proyek ini juga diharapkan akan berkembang lebih lanjut ke tahap berikutnya dengan menghubungkan kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya di Jawa Timur. Jepang dan Tiongkok telah mengungkapkan ketertarikan mereka untuk ikut serta dalam tender proyek ini, sebelumnya kedua negara Asia tersebut telah menggelar studi komprehensif mengenai proyek ini.[1]
Pada akhir September 2015, Indonesia memberikan proyek kereta api senilai multi-miliar-dollar ini kepada Tiongkok,[2][3] sebuah keputusan yang sangat mengecewakan Jepang.[4] Disebutkan bahwa tawaran Tiongkok untuk membangun jalur kereta cepat Jakarta-Bandung tanpa memerlukan jaminan dan pembiayaan dari Pemerintah Indonesia, adalah poin yang paling menentukan jatuhnya pilihan Jakarta kepada Tiongkok.[5]
Pada tanggal 21 Januari 2016, Presiden Joko Widodo meresmikan proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta—Bandung sekaligus melakukan groundbreaking peletakan batu pertama pada proyek tersebut[6]. Jalur kereta kecepatan tinggi Jakarta-Bandung direncanakan akan mulai beroperasi dan mulai melayani publik pada tahun 2019.[7]

Proposal JICA

Shinkansen Seri E5 yang ditawarkan Jepang.
Sejak 2008, Jepang telah lama merintis rencana untuk mengekspor teknologi kereta api berkecepatan tinggi Shinkansen kepada Indonesia. Ketika Festival Persahabatan Indonesia-Jepang digelar pada bulan November 2008, Jepang memamerkan teknologi Shinkansen milik mereka untuk memukau khalayak Indonesia.[8] Skema pendanaan melalui pinjaman lunak telah diusulkan oleh JICA untuk membangun kereta kecepatan tinggi yang menghubungkan koridor padat penduduk di pulau Jawa; dari ibu kota Jakarta menuju Surabaya (sepanjang 730 km).[9][4] Kini pulau Jawa tengah mengalami masalah yang sama seperti yang pernah dialami pulau Honshu sebelum dibangunnya jaringan kereta cepat; yaitu kepadatan dan kemacetan akibat tingginya volume transportasi barang dan penumpang.[10] Gagasan pembangunan jaringan kereta berkecepatan tinggi telah dicetuskan sejak beberapa tahun lalu. Belakangan muncul proposal baru yang membagi proyek menjadi beberapa tahap; dengan tahap pertama menghubungkan Jakarta dengan Bandung, menempuh jarak 150 kilometer dalam tempo kurang lebih 35 menit. Hal ini memangkas waktu tempuh kereta konvensional dari 3 jam menjadi kurang dari satu jam. Biaya ditaksir akan menghabiskan dana sebesar 50 triliun rupiah. Studi kelayakan JICA secara rinci telah rampung pada 2014, setelah menindaklanjuti studi awal pada tahun 2012. Pada tahun 2013 Indonesia mengalami kebangkitan dan perkembangan pembangunan infrastruktur kereta api, di mana dalam beberapa tahun terakhir jaringan rel diperbaiki, ditambah, dan ditingkatkan. Ide pembangunan koridor kereta api berkecepatan tinggi telah diusulkan, namun ditunda dengan alasan pembiayaannya terlalu mahal.
Jepang — dengan reputasinya sebagai produsen kereta api unggul kelas dunia — sepertinya dipastikan akan dengan mudah memenangi kontrak kereta cepat di Indonesia. Akan tetapi, semua itu berubah pada April 2015, ketika Tiongkok turut serta bersaing dengan memberikan penawaran balasan.[11]

Tawaran Tiongkok

Model CRH380A yang ditawarkan Tiongkok.
Pada bulan April 2015, Tiongkok mengajukan tawaran untuk pembangunan proyek rel kecepatan tinggi kepada Indonesia — hal ini cukup mengejutkan dan mencemaskan Jepang yang telah lama mengincar proyek ini.[5] Pada bulan Juli 2015, pemerintah Indonesia mengungkapkan rencana mereka untuk membangun jaringan rel berkecepatan tinggi yang akan menghubungkan Jakarta dan Bandung, serta menggelar kontes antara Jepang dan Tiongkok sebagai peserta tender potensial.[1]
Proyek ini telah mendorong Tiongkok dan Jepang terlibat lebih jauh ke dalam persaingan sengit melalui lobi-lobi yang intensif. Dikatakan bahwa, alasan mendasar di balik kegigihan luar biasa yang ditampilkan oleh Jepang dan Tiongkok, telah melampaui alasan faktor ekonomi semata. Kontes ini telah menjadi bagian dari permainan politik dan ekonomi tingkat tinggi yang jauh lebih besar antara dua kekuatan utama Asia; Jepang dan Tiongkok bersaing untuk merebut pengaruh strategis yang lebih besar di kawasan Asia Pasifik.[12]
Setelah berbulan-bulan penawaran dan lobi dilancarkan, revisi dan pembicaraan antara presiden dan perdana menteri — bahkan pembatalan singkat proyek — pada akhir September 2015 Indonesia memilih Tiongkok sebagai pemenang proyek senilai 5 miliar dollar AS ini.[7]
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menyatakan "sangat menyesalkan" dan "sulit memahami" pilihan Indonesia ini.[11] Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, penawaran Tiongkok dipilih karena struktur keuangannya dinilai lebih menguntungkan — karena tidak seperti penawaran Jepang, proposal Tiongkok tidak memerlukan jaminan dan pendanaan dari pemerintah Indonesia.[13]